Dr. Mukhtar Hadi, M.Si.
Belakangan ini di lingkungan persyarikatan ada tren untuk melaksanakan musyawarah ranting secara bersama-sama. Musran bersama itu difasilitasi oleh pimpinan cabang masing-masing. Di Kota Metro setidaknya sudah ada empat cabang dari lima cabang yang menfasilitasi musran bersama. Tinggal satu cabang yang nampaknya juga akan melakukan hal yang sama.
Musran bersama dinilai memiliki banyak manfaat dan keuntungan. Pertama, musran bersama itu akan memastikan proses pergantian pimpinan persyrarikatan pada tingkat ranting dapat dilakukan secara serentak dan tepat waktu. Sudah dimafhumi pelaksanaan musran terkadang berlarut-larut tidak dapat dilaksanakan tepat waktu. Bahkan ada ranting yang periode cabangnya saja sudah berganti lagi, belum juga bisa menggelar musran. Dinamika persyarikatan pada tingkat ranting terkadang memang sangat kompleks, sehingga untuk musran saja sukar dilaksanakan. Musran bersama dapat mengatasi persoalan musran yang molor-molor itu.
Kedua, musran bersama akan memberikan kesempatan kepada cabang dan seluruh pimpinan ranting di kecabangan itu plus dengan anggota Muhammadiyah bisa bertemu, bertatap muka dan bersilaturahmi. Pertemuan “besar” pada tingkat cabang itu bisa dimanfaatkan untuk penguatan ideologi dan memupuk kebersamaan. Bertemu sambil bercengkerama, makan makanan ringan, ngopi bareng, adalah hal yang semakin langka bisa dilakukan di kalangan keluarga besar Muhammadiyah. Baik karena kesibukan atau memang secara perlahan sudah digantikan dengan silaturahmi secara digital. Suasana musran bersama itu bisa mengobati rasa kangen akan suasana tradisional tersebut.
Namun demikian secara organisasi dan demi kemandirian, kegiatan musran bersama itu untuk kedepan tidak harus dilestarikan. Soal alasan sebagai ajang silaturahmi bersama, tetap bisa dilakukan dengan cara lain. Tidak harus lewat musran bersama.
Mengapa demikian? Karena sejatinya musran adalah mekanisme organisasi pada tingkat ranting yang penyelenggaraannya berada dalam tugas dan tanggungjawab pimpinan ranting. Di dalam musran itu pimpinan ranting menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada jamaah ranting pada akar rumput. Hubungan pimpinan ranting dengan anggota jamaah itu akan lebih berkualitas dilakukan dalam musran yang mandiri, bukan dalam suasana musran bersama.
Keberadaan ranting dengan segala eksistensinya akan dirasakan langsung denyut nadinya oleh masyarakat sekitar jika musran dilakukan di wilayah ranting masing-masing. Dalam musran itu bisa mengundang tokoh agama lain, pamong masyarakat pada tingkat lokal, tokoh pemuda, tokoh ormas lain, dan sebagainya untuk memupuk ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah basyariah. Alla kulli hal, musran secara mandiri merupakan “perayaan” sifat inklusif jamaah Muhammadiyah pada tingkat akar rumput. Berbeda dengan musran bersama yang terkesan “elitis”.
Pemikiran terakhir ini diperutukkan bagai ranting-ranting yang cukup maju dan berkembang atau yang ingin memilih musran secara mandiri. Bukan berarti musran bersama itu dilarang. Namun, Pimpinan ranting tidak harus semua ikut musran bersama yang diinisiasi cabang, tetapi tetap bisa melakukannya secara mandiri. Bahkan kedepan kalau bisa semua ranting harus melakukan musran secara mandiri, dengan catatan tepat waktu, ada laporan pertanggungjawaban, tertib dan meriah. Supaya bisa juga menjadi syiar bagi Muhammadiyah.