Ada sebuah maqalah KH. Ahmad Dahlan:
“Aku ini sudah tua, berusia lanjut, kekuatanku pun sudah sangat terbatas. Tapi, aku tetap memaksakan diri memenuhi kewajibanku beramal, bekerja, dan berjuang untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perintah tuhan. Aku sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa memperbaiki urusan yang terlanjur salah dan disalahgunakan atau diselewengkan adalah merupakan kewajiban setiap manusia, terutama kewajiban umat Islam.”
Saya ingin mengajak semua pembaca terutama warga Muhammadiyah merenungi dan mengkaji pesan pesan KH. Ahmad Dahlan dalam prespektif sufistik. Karena sangat jarang di Muhammadiyah membahas nilai-nilai irfani ini. Sedangkan banyak hal yang tersirat dari apa yang dilakukan oleh para tokoh Muhammadiyah yang menggambarkan sebuah perenungan sufistik yang sangat dalam.
Dalam maqalah di atas, tergambar sekali bagaimana KH Ahmad Dahlan memesankan kepada warganya, bahwa dirinya sudah tua. Ini adalah sebuah kesadaran diri yang sangat dalam, sebagaimana dikatakan dalam sebuah atsar” Man ‘arafa nafsahu arafa rabbahu barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhanya.
Pengenalan KH Ahmad Dahlan pada dirinya bahwa umur semakin lanjut mengantarkan pada sebuah pemahaman yang sangat dalam, bahwa dirinya akan menemui sebuah waktu awal perjalanan yang lebih jauh. Sehingga semakin bersemangat untuk berbekal dengan beribadah. Beliau ber mujahadah atau bersungguh-sungguh dalam ibadah, bekerja dan berjuang. Karena semuanya adalah jalan menuju Allah swt, sebagai sebuah tahapan yang harus dia lalui menuju Allah SWT ( madariju salikin).
Seperti orang yang sadar bahwa waktu naik haji sudah semakin dekat, maka dia akan lebih semangat belajar, berbekal, bekerja dan mempersiapkan diri. Sama dengan umur sudah lanjut, maka perjalanan selanjutnya butuh bekal lebih banyak. Fatazawwadu fainna khoiro zadittaqwa berbekalah karena bekal terbaik adalah taqwa.
Taqwa adalah level yang sangat tinggi dalam tasawuf. Jika melihat perkataan KH Ahmad Dahlan beliau memaksakan, itu adalah bentuk di mana beliau sudah benar-benar menikmati jalan ibadah, beliau sudah berada pada maqam mahabbah cinta kepada Allah SWT. Orang yang sudah mencintai, tidak melihat kondisinya demi yang dia Cintai.
Bahkan KH. Ahmad Dahlan sudah mendekati maqam Fana’ ketika dirinya sudah mampu melepaskan ego dirinya, kepentingan dirinya untuk Allah dan umat manusia. Itulah ungkapan akhir beliau,bahwa memperbaiki urusan yang terlanjur salah adalah kewajiban manusia. Itulah yang dia lakukan dalam hidup, sampai dirinya meninggalpun tidak membawa kekayaan, karena hidupnya totalitas hanya untuk Allah SWT dan kemanfaatan manusia.
Fana KH. Ahmad Dahlan berbeda dengan yang sering kita dengar bahwa orang sufi hanya asyik beribadah saja, tapi KH. Ahmad Dahlan sudah meleburkan dirinya dengan perintah Allah dan memberikan manfaat kepada manusia, melakukan perbaikan kepada hidup manusia, berdakwah dan beramar makruf nahi munkar.
Fana’ sosial menajdi salah satu pembeda tasawuf Ahmad Dahlan, ketika beliau menghabiskan umurnya untuk manusia, sebagaimana Allah SWT berikan misi manusia dalam Ali Imran ayat 110 bahwa manusia dilahirkan untuk manusia, bukan untuk dirinya sendiri. Maka KH Ahmad Dahlan mengajarkan kepada kita, bahwa semakin tua, semakin bermujahadah bahkan fana’ dalam memberi manfaat kepada manusia, bukan pencitraan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.