Senin, Maret 24, 2025
BerandaArtikelARUS BALIK PENDIDIKAN: KEMBALI KEPADA PENA DAN KERTAS

ARUS BALIK PENDIDIKAN: KEMBALI KEPADA PENA DAN KERTAS

Sejak kapan kita meninggalkan pena dan kertas, sehingga harus kembali kepada pena dan kertas? Ini pertanyaan yang mungkin timbul dalam benak kita. Sebenarnya kita tidak sepenuhnya atau lebih tepatnya belum sepenuhnya meninggalkan pena dan kertas sebagai simbol literasi. Namun perlahan tapi pasti pendidikan dan layanan dalam dunia birokrasi secara perlahan meninggalkannya, yaitu sejak gelombang internet secara masif melanda kehidupan manusia. Internet yang kemudian melahirkan dunia serba digital hingga melahirkan teknologi Artificial Intelligence (AI). Semangat paperless (tanpa kertas) dengan dalih efisiensi dan kemudahan akses menjadi mantra yang melanggengkan dunia tanpa pena dan kertas.

Dunia tanpa kertas telah membunuh surat kabar cetak (paper) dalam hitungan dua dekade saja. Kita tidak bisa lagi menemukan orang membaca koran di pagi hari atau saat luang sambil minum kopi dan pisang goreng atau kue ringan seperti sebelumnya. Koran yang dahulu menjadi simbol literasi dan gaya hidup kelas menengah terdidik telah dikalahkan oleh koran digital. Orang-orang yang dahulu meggantungkan hidupnya dari agen dan pengecer koran sudah tidak ditemukan lagi. Tidak ada lagi lapak koran pinggir jalan, tidak ada lagi penjual koran yang berteriak-teriak di lampu merah dan pinggir jalan. Semua tinggal nostalgia.

Surat kabar cetak legendaris yang dalam masa-masa pembangunan dan reformasi menjadi corong bagi kontrol masyarakat dan penjaga demokrasi lambat laun tinggal dalam kubur sejarah. Media cetak seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Jawa Pos, Tempo, Lampung Post, koran Radar di berbagai daerah, Tribun daerah, dan lain sebagainya hanya tinggal batu nisannya saja. Jika pun masih ada, tinggal menungu kematiannya. Di belahan dunia yang lain seperti di Amerika, Eropa, dan negara-negara di dunia yang lain, kematiannya malah sudah sangat lama.

Nasib pena sebagai simbol budaya tulis tidak jauh berbeda. Belajar menulis halus kasar dengan pena di tangan mulai diitinggalkan. Sebelum itu mesin tik manual yang memiliki irama khas kaum terpelajar sudah lama jadi rongsokan seiring dengan menjamurnya Komputer. Mengetik dengan keyboard komputer menjadi budaya tulis baru. Dan kini ketika sumber informasi melimpah ruah dalam dunia maya yang membentuk big data dan algoritma orang merasa tidak perlu lagi banyak-banyak menyentuh keyboard komputer tetapi cukup dengan menyalin dan copy paste, atau cukup bertanya saja lewat Meta atau Chat GPT. Semuanya akan menuliskan sendiri tanpa harus bersusah payah. Literasi dasar dunia pendidikan berupa membaca dan menulis tidak lagi dikuasai generasi milenial dan generasi Z.

Ada harga yang harus dibayar mahal dari sistem pendidikan yang serba digital tersebut.  Diantaranya adalah semakin rendahnya kemampuan dasar menulis dan membaca untuk menarik pemahaman dan pencerapan ilmu pengetahuan. Pengetahuan diperoleh secara instan tanpa pemahaman yang utuh dan komprehensif. Pada gilirannya generasi sekarang menjadi generasi yang kehilangan sikap kebijaksanaan dalam menyelesaikan segala persoalan hidup. Umum didapatkan banyak pelajar dan mahasiswa yang membuat karya tulis namun tidak memahami isi karya tulisnya karena ia menyusun karya tulisnya dengan cara copy paste. Persis seperti keledai yang membawa tumpukan buku di punggungnya namun tidak tahu apa isi buku-buku yang dibawanya.

Kini arus balik itu mulai terjadi. Negara Finlandia yang dinilai sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, mulai tahun 2024 sudah kembali kepada pena dan buku cetak dalam sistem pendidikannya. Perangkat digital berupa laptop dan gadget yang dalam sepuluh tahun terakhir disediakan pemerintah kepada para pelajar, setelah dievaluasi ternyata berdampak pada resiko fisik dan mental. Para pelajar menatap layar hingga rata-rata enam jam  per hari. Akibatnya menimbulkan masalah kesehatan pada mata dan meningkatkan kecemasan. Berdasarkan evaluasi di Finlandia, perangkat digital justru membuat belajar menjadi tidak bisa konsentrasi. Para siswa memiliki celah untuk mengelabui guru dan orang tua, padahal bermain game dan mengakses media sosial, bukan belajar atau mengerjakan tugas sekolah.

Di seluruh Finlandia, hasil belajar anak-anak secara perlahan semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai jalan keluar, pemerintah berencana membuat undang-undang baru yang membatasi penggunaan perangkat pribadi, seperti hand phone selama jam sekolah guna mengurangi waktu menonton layar. Kekhawatiran ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi memiliki peran penting dalam pendidikan, penggunaannya yang tidak seimbang banyak menimbulkan masalah. Kini anak-anak di Finlandia kembali berangkat ke sekolah dengan tas rangsel penuh dengan pena dan buku cetak.

Tren kembali ke pena dan buku sekarang ini juga mulai dilakukan di Swedia dan beberapa negara lainnya. Belum lama ini Australia menjadi negara pertama yang menerapkan kebijakan larangan anak-anak di bawah usia 16 tahun memiliki akun media sosial. Undang-undang ini diterapkan demi melindungi kesehatan mental anak-anak. Rancangan undang-undang yang sama juga sedang dijajaki di Norwegia dan negera Bagian Florida, Amerika Serikat.

Bagaimana dengan kebijakan pendidikan di negara kita? Nampaknya pengalaman beberapa negara tersebut perlu menjadi pertimbangan. Riset dan evaluasi tentang kualitas pendidikan dan hasil belajar siswa perlu dilakukan secara obyektif dan menyeluruh untuk mengambil kebijakan tentang penggunaan perangkat digital sebagai sarana dan sumber belajar. Bukan untuk menafikan manfaat teknologi digital tetapi untuk penggunaan dan pemanfaatan yang bijak, bertanggunjawab, proporsional dan berimbang serta system integrasinya dalam pendidikan. Kembali kepada pena dan buku dalam sistem pendidikan layak untuk dipertimbangkan sebelum kita ketinggalan dari arus balik tersebut. Wallahu a’lam bishawab. (mh.12.03.25).

 

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini