Bagi yang pernah menontong film yang berjudul Satu Kakak Tujuh Keponakan mungkin dapat melihat gambaran tentang tokoh Moko yang mewakili Sandwich Generation (Generasi sandwich). Moko diceritakan baru saja lulus kuliah dan tinggal bersama kakaknya yang sudah berkeluarga. Kakaknya itu memiliki beberapa anak, yang berarti merupakan keponakan Moko. Suatu saat, kakak ipar Moko, suami kakaknya, terkena serangan jantung dan mengakibatkan ia meninggal dunia. Tidak seberapa lama kemudian, kakaknya yang kebetulan sedang hamil tua melahirkan. Kodratullah, kakak perempuan Moko menyusul suaminya meninggal dunia pasca melahirkan. Jadilah Moko memupus cita-citanya untuk studi S2 dan bekerja karena harus mengurus dan membiayai keponakannya yang begitu banyak dan diantaranya ada yang masih bayi.
Film Satu Kakak Tujuh Keponakan secara umum menceritakan mengenai Generasi Sandwich,yaitu generasi yang memiliki beban ganda, atau bahkan berlipat-lipat. Dia tidak hanya bertanggungjawab menghidupi dirinya dan anak istrinya, tetapi masih harus menanggung anggota keluarga yang lain. Anggota keluarga itu bisa saja orang tua, keponakan, sepupu atau saudara dekat lainnya. Dalam kultur masyarakat kita yang guyub rukun dan memiliki hubungan kekerabatan yang tinggi fenomena generasi sandwich seperti ini sesungguhnya hal yang lumrah ditemui dimana-mana. Masyarakat kita sudah terbiasa dengan kondisi yang demikian. Meskipun begitu banyak juga generasi yang tidak berada dalam posisi terjepit beban ganda tersebut. Mereka cukup menghidupi keluarga intinya saja yang terdiri dari suami, istri dan anak.
Namun, ini bukan soal generasi sandwich sebagaimana di atas. Saya hanya ingin mengambil analogi generasi sandwich itu dengan fenomena Kader Sandwich di lingkungan Muhammadiyah. Yaitu mengenai kader persyarikatan yang memiliki beban – mungkin lebih tepatnya bukan beban, karena di Muhammadiyah tidak ada beban – sebut saja amanah atau tanggungjawab yang ganda, triple atau bahkan berlipat-lipat seperti sandwich ditambah kue lapis. Fenomena ini selalu saja terjadi di banyak tempat dan dalam berbagai jenjang jabatan di Persyarikatan Muhammadiyah.
Ada seorang kader Muhammadiyah yang memegang amanah dalam berbagai jabatan. Jabatannya banyak di persyarikatan. Pada tingkat ranting ia menjadi Ketua Ranting, di Pimpinan Cabang ia menjadi salah satu anggota pleno pimpinan, pada tingkat daerah ia menjadi ketua Majelis dan atau Lembaga, di Wilayah ia menjadi Sekretaris Majelis. Semua diemban pada waktu dan periode yang sama atau setidaknya berhimpitan. Belum lagi karena ia aktif di masyarakat, dijadikan sebagai Takmir Masjid, Ketua RT, atau Ketua Rukun Kematian. Bayangkan alangkah sibuknya kader kita itu.
Fenomena kader sandwich sebagaimana di atas bila dipahami dalam perspektif yang positif bermakna kader-kader Muhammadiyah itu ternyata sangat multi talent (talentanya banyak), multi tasking (bisa melakukan banyak pekerjaan dalam waktu yang bersamaan), mumpuni dan hebat. Bagaimana tidak, ia harus pandai mengatur waktu, melaksanakan semuanya dengan baik, mencurahkan tenaga dan pikirannya dengan penuh dan tentu saja “tidak boleh” capek. Bersyukur jika semua tanggungjawab itu bisa ditunaikan dengan baik. Semua berjalan baik-baik saja, program kerja bisa terlaksana.
Sebenarnya tidak ada yang salah karena tidak ada aturan organisasi yang dilanggar. Yang tidak boleh itu kalau rangkap jabatan pimpinan persyarikatan dengan pimpinan amal usaha. Celakanya kalau sebaliknya, punya banyak jabatan, tetapi tidak ada yang dilaksanakan atau terbengkalai semua, karena bingung mana yang harus dilakukan.
Dalam kacamata yang berbeda, fenomena kader sandwich menunjukkan kalau Muhammadiyah itu mengalami krisis kader. Buktinya satu orang bisa memegang banyak jabatan yang berbeda-beda dalam tingkatan yang berbeda-beda pula. Pertanyaannya: Apa tidak ada kader yang lain? Nah ini, jawabannya ada pada kita semua. Kader dan kekaderan terkadang tidak sesederhana yang dibayangkan. Di Muhammadiyah itu sesungguhnya bukan tidak ada orang, bisa dibilang banyak orang. Tetapi orang yang banyak itu belum tentu mau mengemban amanah di persyarikatan. Ada yang mau duduk saja, tetapi alasannya banyak kalau disuruh kerja-kerja dakwah. Namanya ada dalam struktur kepengurusan namun sepi ing gawe, rame ing pamrih.
Orang yang sukarela mengemban banyak amanah itu lahir juga dari proses perkaderan. Artinya pengkaderan itu penting, bahkan sangat penting, karena dari proses itulah akan lahir talenta-talenta baru kader. Kader-kader baru itu jumlahnya memang tidak banyak, namun akan selalu lahir. Dari mana mereka berasal? Tentu saja dari ortom-ortom, Amal Usaha Muhammadiyah dan dari keluarga Muhammadiyah. Mereka itulah yang memberikan rasa optimism bahwa keberlangsungan dakwah Muhammadiyah itu akan tetap lestari dan tidak akan berhenti. Kesimpulannya, silahkan simpulkan sendiri-sendiri. Ini juga sekedar Ngudar rasa.