“I went to the West and saw Islam, but no Muslim;
I got back to the East and saw Muslims, but no Islam”
(Muhammad Abduh)
Muhammad Abduh (1849 – 1905 M) adalah seorang pemikir muslim dari Mesir dan merupakan salah satu tokoh gerakan pembaharuan Islam. Lebih seratus tahun yang lalu ia mengatakan ungkapan sebagaimana yang tertulis di atas. Arti dari perkataan Abduh itu adalah “ Aku telah pergi ke Barat (Eropa) dan menyaksikan Islam di sana, tetapi tidak melihat orang-orang Islam; Aku kembali ke Timur (dunia Islam) dan melihat orang-orang Islam, tetapi aku tidak melihat Islam”. Ungkapan yang bernada satir ini disampaikan Abduh ketika membandingkan kondisi sosial umat Islam di negara-negara Islam dan kondisi sosial masyarakat di negara-negara yang mayoritas non muslim.
Keprihatinan Abduh tentang gambaran umat Islam sebagaimana di atas lebih dari seratus tahun yang lalu, di kemudian hari hingga sampai saat ini ternyata tidak jauh berbeda atau tidak mengalami perubahan yang signifikan. Setidaknya hal tersebut dicerminkan dari laporan tentang Indeks Keberislaman (Islamicity Indexs) yang terakhir dirilis pada tahun 2022. Islamicity Indexs atau indeks keberislaman adalah pengukuran tentang pelaksanaan nilai-nilai Islam yang dipraktekkan suatu kelompok masyarakat atau negara yang berisi empat parameter utama. Empat hal pokok yang menjadi parameter tersebut adalah Penerapan nilai-nilai ekonomi dalam Islam (Economic Islamicity), Praktek Hukum dan tata kelola pemerintahan (Legal and Governance), Nilai-nilai Kemanusiaan dan hak-hak politik (Human dan Political Rights), serta Indeks keberislaman dalam hubungan internasional (International Relations Islamicity Index).
Pada aspek penerapan nilai-nilai ekonomi dalam Islam, indikator yang disurvei diantaranya adalah mengenai peluang dan kebebasan berekonomi, kesetaraan gender dalam ekonomi, kemudahan berusaha, kesamaan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, kebebasan dari korupsi, kepedulian dan bantuan kepada orang-orang miskin, kesejahteraan sosial, pemerataan ekonomi, dan lain-lain. Pada parameter hukum dan tata kelola pemerintahan, indikator yang disurvei diantaranya adalah mengenai penegakan hukum yang independen, integritas hukum baik pada sistem hukum maupun aparat penegak hukumnya. Disamping itu juga pada manajemen pemerintahan, efisiensi pengelolaan sumberdaya, stabilitas politik, tingkat kriminalitas dan kekerasan yang rendah, kontrol terhadap korupsi, kepercayaan terhadap pemerintah, manajemen sumberdaya alam, proteksi terhadap hak-hak binatang, kualitas udara dan air, kesehatan lingkungan, energi yang berkelanjutan, dan sebagainya.
Aspek-aspek yang disurvai pada aspek kemanusian dan hak-hak politik diantaranya adalah Human Development Index (HDI), kebebasan masyarakat sipil dan hak politik warga negara, proporsi antara laki-laki dan perempuan di parlemen, indeks demokrasi global, standar hidup yang baik dan rasa aman. Sementara pada parameter terakhir yaitu indeks keberislaman dalam hubungan internasional aspek yang dilihat adalah mengenai kebebasan warga negara asing untuk berkunjung, indikator politik global, indikator globalisasi ekonomi, indikator globalisasi sosial, dan lain-lain.
Berdasarkan indikator-indikator sebagaimana diatas, maka dilakukan survei terhadap 149 negara pada tahun 2022. Hasilnya, 10 peringkat pertama negara dengan indeks keberislaman tertinggi ditempati secara berurutan yaitu Denmark, Irlandia, Belanda, Swedia, Islandia, Swiss, Norwegia, Finlandia, Selandia Baru, dan Jerman. Tidak satupun negara-negara ini masuk kategori negara Islam atau penduduknya bukan mayoritas Islam. Lalu yang masuk kategori negara Islam atau mayoritas penduduknya muslim pada peringkat berapa? Dari 149 negara indeks keberislaman tertinggi pada kategori negara Islam adalah Malaysia (peringkat 43), Albania (peringkat 46), Uni Emirat Arab ( peringkat 48). Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar menempati peringkat ke 62. Sementara itu empat negara terakhir semuanya merupakan negara Islam, yaitu Chad (146), Sudan (147), Afghanistan (148) dan paling buncit Syria, yang berada pada peringkat 149. (Lihat dalam https://islamicity-index.org/latest-indices-2022/).
Apa yang bisa kita pahami dari data-data tersebut? Pertama, negara-negara dengan indeks keberislaman tertinggi justru tidak berada di negara-negara Islam. Yang dimaksud Negara Islam adalah negara yang sistem pemerintahan berdasarkan Islam dan atau penduduknya mayoritas beragama Islam. Tingkat keberislaman tertinggi dengan parameter nilai-nilai Islam dimiliki oleh negara-negara yang selama ini disebut sebagai negara-negara sekuler. Tidak satupun merupakan negara Islam. Kedua, tidak selalu menjamin bahwa negara Islam atau mayoritas penduduknya Islam memiliki indeks keberislaman yang tinggi. Hal itu berarti nilai-nilai Islam belum sepenuhnya diimplementasikan oleh masyarakat di negara-negara Islam. Ketiga, Indeks keberislaman terendah justru ada pada negara-negara Islam. Afghanistan dan Syria yang berada pada peringkat paling bawah sebagaimana diketahui adalah negara yang tidak pernah berhenti dari konflik politik dan persoalan kemanusiaan yang sangat akut.
Berkaca dari data indeks keberislaman itu, maka sesungguhnya banyak pekerjaan rumah bagi umat Islam di berbagai belahan dunia dalam mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari baik dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, tidak cukup hanya berhenti pada ajaran, tetapi harus mewujud dalam praktek kehidupan sehari-hari. Kitab suci Al-Qur’an tidak hanya dibaca, tetapi nilai-nilai ajarannya harus ada dalam ranah praksis. (mh.10.10.24).