Mukhtar Hadi
Wakil Ketua PDM Kota Metro
Berkumpulnya umat Islam dari seluruh belahan dunia untuk menunaikan ibadah haji di Mekah bukan hanya menunjukkan keragaman etnik, budaya dan adat istiadatnya. Namun jika diamati dengan seksama menampakkan tata cara ibadah yang berbeda-beda. Para ulama menyebut perbedaan itu sebagai khilafiyah (perbedaan pandangan atau pendapat) dalam aspek tertentu dalam ibadah. Umumnya perbedaan itu bukan pada aspek yang pokok atau dasar, tetapi pada hal-hal yang bersifat furu’ atau cabang saja.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk menimbang atau menilai mana yang benar atau mana yang salah dari tata cara ibadah itu. Biarlah itu menjadi urusan para imam madzhab dan para ulama sesuai dengan dasar dan argumentasi masing-masing. Cukuplah ini untuk menggambarkan potret sekilas perbedaan dalam tata cara shalat umat Islam dunia ketika di Mekah. Supaya kita juga tahu bahwa selain pandangan keagamaan yang kita yakini dan amalkan ada pandangan keagamaan yang berbeda yang dipraktekkan oleh muslim lain.
Kalau kita shalat di Masjidil Haram dan shalat bersama dengan jamaah dari berbagai negara akan terasa sekali perbedaan masing-masing dalam tata cara shalat. Beberapa perbedaan mungkin sudah sering kita temukan di kalangan umat Islam di Indonesia, namun ada juga yang belum kita saksikan.
Dimulai dari yang dipraktekkan oleh Masjidil Haram sendiri. Di Masjidil Haram, setiap membaca Surat Al-Fatihah dan surat lainnya maka bacaan basmalah selalu disirkan atau tidak dijaharkan. Imam langsung membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya tanpa basmalah. Shalat subuh di Masjidil Haram juga tidak membaca Qunut dan tidak ada dzikir bersama setelah shalat yang dipimpin langsung oleh Imam. Shalat Jum’at di Masjidil Haram menggunakan Azan dua kali, hanya Azan pertama dikumandangkan kurang lebih setengah jam sebelum azan kedua. Jadi jarak azan pertama dengan azan kedua cukup lama, yaitu lebih kurang setengah jam atau 30 menit.
Kalau di atas pelaksanaan shalat yang dipraktekkan Masjidil Haram. Potret tata cara shalat yang ditunjukkan oleh beberapa jama’ah dari berbagai negara atau bisa jadi dari berbagai mazhab keagamaan berbeda lagi. Jika umumnya kita shalat dengan cara bersedekap atau meletakkan kedua tangan di atas dada, namun ada beberapa orang yang shalat dengan tangan tetap menjuntai lurus ke bawah pada setiap rakaat dan tidak bersedekap di dada.
Pada saat posisi tasyahud biasanya kita duduk dengan cara yang berbeda antara tasyahud awal dan tasyahud akhir. Namun sangat sering ditemukan orang shalat di Masjidil haram dengan duduk yang sama saja antara tasyahud awal dan akhir, yaitu sama seperti posisi duduk tasyahud awal. Jadi duduknya tidak ada perbedaan antara tasyahud awal dan akhir. Ada juga orang yang tidak mengangkat tangan saat takbiratul ihram. Takbir begitu saja, tangannya tetap menjuntai lurus ke bawah.
Biasanya setelah shalat fardhu berjamaah, imam Masjidil Haram memberikan aba-aba untuk persiapan shalat jenazah. Di Masjidil Haram hampir pasti setelah shalat fardhu pasti akan ada shalat jenazah bagi jamaah haji yang wafat. Pada saat shalat jenazah itu, ada yang selalu mengangkat tangan pada setiap takbir sampai takbir ke empat, tetapi ada juga jamaah yang hanya mengucapkan takbir dan tidak mengangkat tangan sama sekali pada setiap takbirnya. Ada juga yang mengucap takbir saja dengan tangan tidak bersedekap di dada dan hanya lurus ke bawah. Macam-macam.
Soal menudingkan jari telunjuk saat membaca tasyahud awal maupun akhir. Beberapa jamaah ada yang tidak menudingkan jari telunjuk dari awal hingga akhir, ada yang menudingkan langsung begitu baca tasyahud dan banyak pula yang menuding jari telunjuknya ketika mulai membaca syahadat dalam bacaan tasyahud. Kalau di Indonesia perbedaan ini sepertinya sudah biasa dan sering disaksikan.
Yang agak aneh mungkin soal konsentrasi dan kekhusyuan dalam shalat. Banyak jamaah yang ketika shalat, masih melaksanakan aktivitas lain di luar shalat. Ada yang shalat tetapi masih sempat menjawab obrolan, mengangkat telepon, menghalau orang yang lewat, dan gerakan lainnya. Dulu kalau kita belajar salat, gerakan sedikit saja di luar gerakan shalat oleh guru ngaji kita dinilai telah membatalkan shalat apalagi sampai berbicara. Aneh dari sudut pandang kita, tetapi tidak bagi yang melakukan.
Bagi yang berpandangan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu, pandangannya bisa fleksibel ketika melakukan tawaf. Sebagaimana ketentuan fiqih, seseorang harus suci dari hadast besar maupun kecil ketika thawaf. Harus dalam keadaan suci. Namun persentuhan kulit laki dan perempuan ketika tawaf sering tidak bisa dihindari. Maka yang berpandangan sentuhan kulit laki-laki dan perempuan batal wudunya tidak berlaku ketika thawaf. Kondisi thawaf dinilai Dharurat katanya.
Begitulah dinamika praktek ibadah terutama shalat pada jamaah haji dari seluruh dunia. Macam-macam paham dan pandangan keagamaannya. Semuanya berjalan sesuai dengan imam mazhab yang diyakini dan pahamnya masing-masing. Namun semuanya berjalan dengan normal. Saling mengerti dan saling memahami. Saling membiarkan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tidak ada yang merasa paling benar. Satu kalimat untuk melukiskannya “Sepakat dalam Perbedaan”. (MH. 11/06/24).