Sabtu, Desember 6, 2025
BerandaArtikelMuhammadiyah Dulu dan Sekarang: Refleksi Spirit Kesederhanaan

Muhammadiyah Dulu dan Sekarang: Refleksi Spirit Kesederhanaan

K.H. A. R. Fachruddin, salah satu tokoh besar Muhammadiyah, pernah menyampaikan pesan yang tampak sederhana tetapi sesungguhnya sangat mendalam: “Hidup itu sederhana saja. Jangan banyak kemauan, perbanyaklah syukur.” Kalimat ini bukan sekadar nasihat moral, tetapi fondasi spiritual dan eksistensial dalam membangun gerakan yang berorientasi pada pengabdian dan kemanfaatan.

Pada masa awal perkembangan Muhammadiyah, para pendiri dan pegiatnya hidup dalam kesederhanaan. Banyak yang menjadi guru, pedagang kecil, atau pekerja sosial yang tidak dikenal publik. Mereka bergerak bukan demi prestise sosial, bukan demi jabatan, dan bukan demi bangunan yang megah. Mereka bergerak karena iman—bahwa Islam harus menyebar sebagai rahmat bagi sesama, dan pendidikan harus menjadi jalan perubahan.

Kini, kondisi telah berubah. Muhammadiyah tumbuh menjadi organisasi dengan jaringan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial yang luas. Di Metro, kita menyaksikan kampus berdiri megah, sekolah dan pesantren berkembang, serta kader-kader muda yang menguasai media, teknologi, dan jejaring kepemimpinan. Kemajuan ini patut disyukuri. Ia adalah buah dari perjuangan panjang dengan penuh keikhlasan.

Namun, justru dalam kemegahan inilah pesan A. R. Fachruddin kembali menemukan relevansinya. Ketika fasilitas semakin bagus, kehidupan semakin mapan, dan panggung sosial semakin terbuka, di situ pula muncul ujian yang lebih halus: ujian kesombongan, gengsi, dan kemelekatan pada dunia.

Di era media sosial, anak-anak muda Muhammadiyah menghadapi tekanan baru: standar kesuksesan diukur dari tampilan hidup, gaya konsumsi, dan sorotan kamera. Jika tidak berhati-hati, kita akan perlahan bergeser dari gerakan pencerahan menjadi komunitas pencitraan.

Karena itu, refleksi ini penting:

Bahwa kemajuan tidak boleh menghapus kesederhanaan.

Bahwa kekayaan tidak boleh menghilangkan kerendahan hati.

Bahwa institusi yang besar harus tetap digerakkan oleh jiwa pengabdian, bukan kepentingan pribadi.

Kesederhanaan bukan berarti miskin. Tetapi kesederhanaan berarti tetap menempatkan dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Gedung megah boleh naik, tetapi hati jangan ikut meninggi. Organisasi boleh maju, namun ruh perjuangan harus tetap bernapas: ikhlas, adil, jujur, dan peduli.

Hari ini, di Muhammadiyah Metro, kita punya tanggung jawab peradaban: menjaga agar kemakmuran organisasi tetap berpijak pada nilai-nilai amal shalih dan pelayanan. Kita harus mendidik generasi muda untuk memahami bahwa ibadah sosial jauh lebih mulia daripada sekedar menjadi terkenal; bahwa menolong sesama lebih penting daripada memenangkan lomba gengsi.

Kesederhanaan adalah akhlak para pejuang.

Dan jika Muhammadiyah ingin terus menjadi cahaya pencerahan, maka cahaya itu harus tetap datang dari hati yang bersih dan jiwa yang rendah hati.

Itulah pesan pak A. R. Fachruddin—pesan yang tidak boleh dilupakan.

Pesan yang menjadi kompas moral agar Muhammadiyah tidak hanya besar di mata manusia, tetapi juga besar di sisi Allah.

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini