Mukhtar Hadi
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Metro
Selama ini sering dipahami oleh banyak orang bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik. Hal itu betul, tidak salah, karena kenyataannya hampir semua rukun dan wajib haji sebagian besar dilaksanakan dengan ibadah fisik. Banyak persiapan ibadah haji ditekankan kepada persiapan fisik. Karena itu salah satu syarat diberangkatkan haji adalah istito’ah (kemampuan) dari sisi kesehatan. Semua dilakukan supaya jamaah haji siap secara fisik.
Tawaf sebagai rukun haji dilaksanakan dengan cara mengelilingi Ka’bah tujuh kali, Sa’i dengan lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah sebanyak tujuh kali, melempar jumroh Aqobah, Ula, Tsani dan Kubro harus berjalan kaki dari tempat mabit di Mina sampai jamarat (tempat melempar jumroh). Semuanya dilaksanakan dengan berjalan kaki atau bagi yang lansia atau sakit atau keterbatasan lainnya bisa menggunakan alat seperti kursi roda, golf car, atau scooter listrik. Semuanya membutuhkan fisik yang prima. Wukuf di Arofah, mabit di Muzdalifah dan Mina, semuanya juga ibadah yang melibatkan fisik.
Namun yang sering dilupakan, disamping ibadah fisik, haji sesungguhnya ibadah Ruhiyah atau rohani yang begitu sangat intens dan terinternalisasi dalam keseluruhan pelaksanaan ibadah haji. Ibadah haji yang hanya dipahami sekedar ibadah fisik, maka akan kehilangan ruh ibadahnya dan nir makna atau kehilangan hikmah.
Padahal ibadah apapun dalam Islam, termasuk ibadah haji, dinilai sebagai ibadah ketika ada keterlibatan antara fisik jasmani dan rohani. Ibadah yang hanya melibatkan fisik dhahiriyah tanpa ada aspek batiniah (rohani) maka ibadah itu tidak bernilai ibadah. Aspek dhahir fisik itu yang nampak kelihatan, sementara aspek rohani batiniah adalah yang tidak nampak tetapi dirasakan dan ada di dalam qalbu setiap hamba yang beribadah. Aspek batiniah itu misalnya seperti niat ibadah hanya karena Allah, ikhlas, tawadhu, terhindar dari ria, khusyu, sabar, dan semua kebaikan yang dirasakan dan ditanamkan di dalam qalbu.
Bisa jadi dalam prosesi ibadah haji, banyak jamaah haji yang bertanya baik terucap atau tidak, diantara pertanyaan itu misalnya: untuk apa repot dan bercapek-capek melempar jumroh, untuk apa mengelilingi sebuah bangunan berbentuk kubus warna hitam (Ka’bah) berdesakan-desakan lagi, untuk apa susah payah lari kecil atau jalan kaki berulang dari Shafa dan Marwah sampai tujuh kali. Untuk apa berpanas-panasan dan berdesakan di Arofah, Musdalifah dan di Mina. Semuanya dirasakan sebagai penderitaan secara fisik, karena hasilnya lelah, capek dan penat.
Allah SWT sudah mengingatkan bahwa selama melaksanakan ibadah haji, seseorang dilarang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mencederai nilai ibadah haji. Diantaranya ada tiga hal yang dilarang, yaitu berbuat rafats (berkata jorok, perilaku pornografi), fusuq (berbuat maksiat dan dosa), dan jidal atau bertengkar dan berbantah-bantahan.
Pesan itu sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 197.
“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (QS Al-Baqarah ayat 197).
Firman Allah SWT di atas menegaskan bahwa ibadah haji itu adalah proses untuk belajar mengendalikan diri dari hal-hal yang mengarah pada perbuatan-perbuatan dosa. Esensi bekal yang sesungguhnya saat melaksanakan ibadah haji bukanlah uang atau hal-hal yang bersifat materi lainnya, tetapi bekal yang utama adalah ketakwaannya kepada Allah SWT. Dan kita disuruh untuk merenungkan dan memikirkan hal tersebut.
Ketika seseorang sudah berniat haji dengan menggunakan pakaian ihram yakni pakaian yang tidak berjahit maka beberapa larangan pun berlaku. Larangan itu diantaranya tidak boleh menutupi kepala dengan apapun, memotong rambut dan kuku, tidak boleh menikah dan menikahkan, tidak boleh melakukan hubungan suami istri, tidak boleh menebang pohon dan memburu binatang buruan, tidak boleh memakai wewangian. Semua larangan itu bermakna sebagai pendidikan agar kita belajar untuk disiplin melaksanakan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangannya. Kita juga diajarkan bagaimana memelihara alam dan melindungi makhluk hidup yang lainnya.
Pakaian ihram berwarna putih yang tidak berjahit itu mengajak kita untuk bertafakur mengingat kematian. Sekaligus mengingatkan kepada kita bahwa jabatan dan kekuasaan, harta yang dimiliki, paras cantik dan tampan yang ada pada kita, status sosial yang kita sandang, atau kelebihan-kelebihan lainnya, semua tidak ada artinya dihadapan Allah SWT. Manusia adalah makhluk Allah yang sama derajatnya dan pada akhirnya semua akan ditinggalkan kecuali hanya kain putih yang tidak berjahit (kain kafan) itu dan amal shaleh kita yang akan dibawa menghadap Allah SWT.
Pesan pendidikan lainnya adalah manusia tidak boleh bersikap angkuh dan sombong atau takabbur. Sikap Adigung dan Adiguna yang mudah meremehkan orang lain, menganggap diri paling penting, paling kuat, paling pintar, paling berkuasa, paling ahli ibadah, dan lain sebagainya harus dihindari. Karena semua itu bentuk dari rasa angkuh dan takabbur. Yang berhak sombong hanya Allah SWT. Allah yang memiliki sifat Al -Mutakabbir (Yang Maha Agung) adalah Dzat yang paling berhak menyandangnya. Keagungan adalah pakaian Allah SWT dan manusia tidak berhak menyandang dan memakainya.
Selama menunaikan ibadah haji, kita diperintahkan dan dianjurkan untuk memperbanyak dzikir, membaca Al-Qur’an, shalat fardhu berjamaah dan shalat sunnah. Alhamdulillah, jarang disaksikan jamaah haji yang tidak melakukan itu semua. Musholla dan masjid di maktab selalu penuh ketika shalat jamaah, banyak yang berdzikir dan membaca Al-Qur’an. Beberapa diantaranya ada yang khatam Al-Quran beberapa kali. Bisa jadi ketika di rumah dan tanah air masing-masing hal tersebut belum tentu dilakukan. Masjidil Haram di Mekah selalu penuh dengan jamaah yang akan melaksanakan shalat di sana, Masjid Nabawi di Madinah juga selalu penuh dengan jamaah.
Semua yang digambarkan di atas menunjukkan sebuah proses pembiasaan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk membentuk pribadi yang shaleh. Terjadi selama melaksanakan ibadah haji. Harapannya tentu setelah semua pulang ke tanah air kebiasaan itu masih berjalan dan lestari. Haji telah mengajarkan untuk membiasakan diri untuk aktif, tekun dan disiplin dalam beribadah serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keberhasilan proses tarbiyah (pendidikan) ini akan terlihat nanti hasilnya setelah proses ibadah haji selesai dan semua kembali lagi di tempat masing-masing dan beraktivitas seperti sediakala. Wallahu a’lam bishawab. (MH.02.07.24).