Mukhtar Hadi
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Meto
Masjidil Haram di Mekah hampir setiap hari tidak pernah sepi dari umat Islam yang akan melaksanakan shalat lima waktu. Ribuan orang setiap hari rela datang dengan berjalan kaki dan rela berpeluh untuk bisa melaksanakan shalat berjamaah di Masjidil Haram. Pada puncak haji, bahkan jutaan orang rela berdesakan-desakan untuk bisa mencapai Masjidil Haram. Tidak mengherankan karena di Masjidil Haram terdapat Baitullah (Ka’bah) yang menjadi kiblat shalat umat Islam.
Pada puncak ibadah haji, kedatangan orang ke Masjidil Haram bukan hanya untuk shalat berjamaah tetapi juga untuk melakukan tawaf dan Sa’i. Hampir setiap waktu ribuan orang melaksanakan tawaf silih berganti tiada pernah henti, baik untuk tawaf umroh, tawah haji maupun tawaf sunah. Pada puncak haji, mataf (tempat tawaf) yang terdiri dari empat lantai sampai penuh semua dengan jamaah haji yang melaksanakan tawaf. Seringkali banyak jamaah haji yang ingin tawaf di pelataran Ka’bah tidak diperbolehkan oleh Askar (polisi), namun diarahkan ke lantai 1 sampai 4 karena di pelataran Ka’bah sudah penuh sesak.
Untungnya Masjidil haram sekarang ini dengan adanya perluasan bangunan bisa menampung jutaan jamaah. Menurut perkiraan, perluasan Masjidil Haram bisa menampung sampai 2 juta orang. Sampai hari ini proses pembangunannya juga belum selesai seratus persen. Sebab itu dengan banyaknya orang yang ingin shalat ke Masjidil Haram, pelataran dan tempat terbuka digunakan juga untuk saf shalat berjamaah.
Antusiasme orang untuk shalat di Masjidil Haram membuat banyak diantara mereka rela menunggu waktu shalat ke waktu shalat berikutnya. Alasannya supaya menghemat tenaga bolak balik dari tempat tinggal (hotel) ke Masjidil Haram. Ketika sebagian jamaah lain pulang ke tempat mereka masing-masing setelah shalat, ada ribuan lainnya yang rela menunggu untuk bertemu dengan waktu shalat berikutnya. Selama menunggu mereka menghabiskan waktunya untuk membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir dan shalat sunah.
Semangat dan gairah untuk selalu berada di Masjidil Haram ini bukan tanpa alasan. Alasan utamanya tentu saja nilai pahala yang diperoleh jika dapat shalat berjamaah di Masjidil Haram. Sebagaimana disabdakan dalam sebuah hadits Nabi. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu Anhu, Rasulullah SAW bersabda: “Sholat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 (seribu) kali sholat di masjid lainnya kecuali di Masjidil Haram, Makkah, dan sholat di Masjidil Haram lebih baik dari 100.000 (seratus ribu) sholat di masjid lainnya.” (HR Ibnu Majjah, dishahihkan oleh Al-Bani).
Siapa yang tidak tergiur dengan nilai pahala shalat berjamaah di Masjidil Haram dengan pahala yang begitu besar? Lebih baik dari seratus ribu dibandingkan dengan shalat di Masjid lainnya yang ada di dunia ini. Wajar jika kemudian jamaah haji yang punya kesempatan untuk berkunjung ke Baitullah memanfaatkan momentum ini dengan sebaik-baiknya. Apalagi, waktu yang dimiliki oleh jamaah haji selama di Mekah cukup panjang dan tidak ada aktivitas lainnya selain beribadah. Maka rugi yang tidak memanfaatkan waktunya untuk memperbanyak ibadah di Masjidil Haram.
Jamaah haji Indonesia biasanya mengatur waktunya untuk shalat di Masjidil Haram. Polanya setiap hari bisa berbeda-beda. Tidak selalu penuh shalat lima waktu dalam setiap hari. Akan tetapi banyak yang berusaha setidaknya dalam sehari ada shalat yang dilaksanakan di Masjidil Haram. Misalnya, datang untuk shalat untuk subuh, pulang setelah shalat sunah syuruq. Kemudian ada yang datang setelah shalat asar untuk bisa shalat Maghrib dan Isya di Masjidil Haram. Setelah itu pulang. Ada pula yang datang sekitar jam delapan pagi, lalu bisa menyempatkan tawaf sunah, setelah itu shalat dhuhur dan shalat asar berjamaah. Sehabis itu pulang ke hotel.
Ada pula yang shalat lima waktu berada di Masjidil Haram. Untuk yang terakhir ini, mereka harus membawa perbekalan yang cukup, setidaknya membawa makanan ringan dan minum karena satu hari penuh ada di Masjidil Haram. Soal minum, di Masjidil Haram tidak perlu khawatir, karena hampir di setiap sudut dan di sekitar tempat tawaf, sa’i dan shalat disediakan air minum zamzam secara gratis. Terkadang jamaah malah membawa beberapa botol kosong untuk diisi zamzam dan dibawa pulang.
Ketika tulisan ini dibuat, penulis sedang menunggu shalat asar berjamaah di Masjidil Haram, setelah sebelumnya menyempatkan tawaf sunah dan shalat dhuhur berjamaah. Siapa yang tidak ingin pahala 100.000.? (Masjidil Haram, MH.25.06.24).