Mukhtar Hadi
Wakil Ketua PDM Kota Metro
Malam itu, di penghujung 9 Dzulhijjah 1445 dan memasuki 10 Dzulhijjah 1445 H dalam gemerlapan penerangan lampu yang berpindar-pindar dan bulan yang penuh sepertiganya. Pertama kalinya melihat langsung suatu tempat yang selama ini hanya terdengar dari cerita ke cerita. Cerita dari orang-orang terpilih dan terpanggil yang pernah sampai ke sana. Tempat yang sangat penting karena bagian dari syariat ibadah haji. Mina.
Cahaya lampu dan semburat rembulan tanggal 10 penanggalan Islam memberi warna bagi ribuan kuncup putih tenda-tenda yang tidak tahu berapa jumlahnya. Di wilayah yang konon luasnya kurang lebih 20 km2 itu berdiri “perkampungan” suci yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari ibadah haji. Namanya sekali lagi: Mina. Semua orang yang berhaji harus menginap di perkampungan suci itu antara dua sampai tiga malam lamanya.
Mina sebagai “kampung tenda” terasa denyut kehidupannya mulai tanggal 8 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah setiap tahunnya. Kurang lebih hanya satu minggu. Di luar hari itu Mina akan kembali sepi meninggalkan tenda tak berpenghuni dan akan terisi kembali satu tahun kemudian.
Menurut informasi Jumlah tenda di Mina lebih dari seratus ribuan. Tenda sejumlah itu untuk menampung jamaah haji seluruh dunia yang jumlahnya jutaan. Sebagai gambaran, tahun ini, 1445 H, jamaah haji Indonesia ditempatkan pada 44 maktab di Mina. Pada setiap maktab diisi oleh jamaah haji dari 12 Kloter. Jika satu kloter rata-rata 400 orang, maka dalam satu maktab berisi 4800 – 5000 jamaah. Satu tenda berisi rata-rata 40 orang, berarti untuk menampung 5000 orang dalam satu maktab dibutuhkan 125 tenda. Dalam satu maktab saja sudah sangat padat.
Tenda-tenda di Mina dibangun seperti sebuah komplek perumahan. Ada blok-blok tertentu yang kemudian diberi nama maktab tadi. Setiap maktab diberi nomor. Nomor maktab itu yang harus diingat terus oleh jamaah haji. Lupa nomor maktab akan membuat bingung dan bisa tersesat ke maktab lain. Jarak satu tenda ke tenda lain dalam satu maktab hanya kurang lebih satu meter. Jarak itulah yang kemudian menjadi lorong-lorong. Melalui lorong-lorong itulah jamaah haji lalu lalang beraktifitas keluar masuk maktab atau aktifitas lainnya seperti ke toilet, mandi, mengambil rangsum makanan, dan lain sebagainya. Di lorong itu pula ditempatkan kotak-kotak sampah untuk membuang sampah wadah makanan, botol minuman dan sampah lainnya.
Dalam setiap maktab dibangun beberapa bangunan toilet. Setiap bangunan toilet itu terdiri dari 40 kamar mandi untuk laki-laki maupun perempuan. Toilet laki-laki dan perempuan saling membelakangi dengan masing-masing 20 pintu. Di kamar mandi sekaligus toilet ini aktivitas harian di Mina berdenyut tidak pernah berhenti. Jamaah harus rela untuk antri baik untuk keperluan buang air kecil dan besar maupun untuk mandi. Satu pintu kamar mandi antrian berkisar paling sedikit tiga orang dan paling banyak bisa sepuluh orang. Di jam-jam tertentu antrian bisa sangat panjang. Dituntut saling toleransi dan kesabaran. Pesan untuk antri toilet: jangan antri setelah kebelet, antrilah sebelum kebelet. Supaya anda tidak “tersiksa”.
Mina sebagai tempat mabit bagi jamaah haji hanya diinapi dua malam sampai tiga malam. Dua malam bagi yang mengambil Nafar awal dan tiga malam bagi yang mengambil Nafar Tsani. Selama bermalam di Mina itu aktifitas jamaah haji yang utama adalah melempar jumroh antara tanggal 10 hingga 13 Dzulhijjah. Aktifitas melempar jumroh itu dipilih waktunya sendiri oleh masing-masing jamaah atau secara berombongan. Ada yang sehabis dhuhur, setelah ashar, malam hari dari habis isya hingga terbit fajar, ada pula yang habis subuh. Siklus ini membuat proses keluar jamaah dari maktab di Mina ke jamarat hingga masuk lagi ke tenda Mina bergantian silih berganti selama dua puluh empat jam.
Selain ke jamarat untuk melempar jumroh, shalat ke masjid, dan kamar mandi, aktifitas jamaah lebih banyak di dalam tenda. Aktifitas keluar tenda sangat dibatasi karena cuaca ekstrim di luar sangat berbahaya bagi kesehatan jamaah. Biasanya jamaah sendiri enggan untuk keluar tenda karena alasan cuaca tadi. Tahun ini, bahkan, pintu gerbang maktab dijaga ketat pada siang hari saat suhu sangat terik oleh tenaga keamanan supaya jamaah tidak memaksa diri melempar jumroh ke jamarat. Kebijakan ini terkadang disalah artikan, seolah jamaah dilarang melempar jumroh. Padahal untuk mencegah kondisi jiwa dan resiko yang tidak diinginkan dari para jamaah.
Panitia haji melarang jamaah haji melempar jumroh di siang hari yang terik semata-mata karena pertimbangan kesehatan. Selalu tidak mudah memberikan pengertian ini kepada jamaah. Tetap saja ada yang memaksa. Fokus saja ke tenda dan dicari waktu yang aman untuk ke jamarat. Di dalam tenda jamaah menggunakan waktunya untuk berdzikir, berdoa dan membaca Al-quran, selebihnya untuk bersantai, ngobrol sesama jamaah, makan-minum, dan kudapan. Tentu kalau sudah urusan ibadah pribadi ini masing-masing tidak sama. Ada yang rajin, ada juga yang tidak. Ada yang sepanjang hari dan malam untuk tidur dan baru bangun ketika shalat dan makan. Mungkin ia memaknai mabit (bermalam) itu tidur dan istirahat. Namanya orang banyak, macam-macam karakternya. Allah yang Maha Tahu amal ibadah mereka.
Malam itu, dini hari, aku mencoba keluar tenda untuk ke kamar mandi. Menahan dari hajat yang natural dan manusiawi untuk ke toilet. Waktu dini hari dipilih dengan harapan tidak ada antrian, setidaknya tidak terlalu panjang. Tapi apa lacur, malam dini hari yang seharusnya nyaman untuk tidur itu tidak menghentikan aktivitas kamar mandi. Tetap saja ada antrian. Betul-betul non stop dua puluh empat jam. Kampung Mina betul-betul berdenyut tanpa henti siang malam baik untuk ibadah, melempar jumroh di jamarat, hingga untuk urusan perut dan hajat belakang.
Dua malam di Mina mengingatkan akan gambaran kehidupan yang sesungguhnya. Istirahat, beribadah dan perjuangan berat untuk melempar Jumroh ula, wustho dan Aqobah. Mina menjadi tempat perenungan dan praksis sosial akan kehidupan bersama. Saling membantu dan menolong atau bersikap egoisme dan individualisme. Perenungan akan keadaban sosial atau apatisme. Mina bukan sekedar untuk menginap.
Pagi menjelang subuh itu, bunyi kursi roda berderit menyusuri lorong kampung Mina. Seorang anak menjadi kusir bagi orang tuanya sebagai bentuk bakti. Seseorang setengah berlari tergesa-gesa meringis menahan dorongan manusiawi , kemana lagi kalau bukan ke kamar mandi. Sekelompok orang terburu-buru ke luar lorong untuk mencari rombongannya, berbaris dan bersama menuju jamarat. Suara Sutil dan wajan beradu, bersumber dari ruang dapur, menghasilkan lagu dan irama yang mengundang lapar.
Dua malam di Mina meninggalkan kenangan akan kehidupan yang kasetnya diputar kembali di sana. Kuncup tenda dan lorong-lorong itu tiga malam berikutnya akan ditinggalkan penghuninya. Tinggal tersisa kasur dan bantal tipis di dalamnya, entah mau digunakan untuk apa setelahnya. Lorong yang berserakan sampah karena petugas sering terlambat membersihkannya atau kurangnya kesadaran jamaah untuk membuang sampah pada tempatnya. Semua akan disiapkan kembali menyambut tamu di tahun berikutnya. (MH.19.06.24).