Mukhtar Hadi
Wakil Ketua PDM Kota Metro
Tanazul secara bahasa berarti berpindah, yakni berpindah ke tempat lain yang bukan tempat semula. Tanazul menjadi salah satu kebijakan yang juga akan diberlakukan pada ibadah haji tahun 1445 H ini. Jamaah yang mengambil tanazul diperbolehkan untuk pulang ke hotel masing-masing setelah melempar Jumroh Aqobah tanpa harus kembali ke tenda di Mina untuk mabit. Sifatnya opsional bagi jamaah yang mau memilih, terutama bagi jamaah haji memiliki resiko tinggi dan yang lansia.
Kebijakan tanazul ini diberlakukan karena pertimbangan kepadatan yang terjadi tenda penampungan di Mina. Tahun ini dengan jamaah haji yang jumlahnya bertambah sementara kapasitas Mina yang justru berkurang karena tidak dioperasionalkannya maktab 1-9 di Mina Jadid. Tahun-tahun yang lalu Mina Jadid digunakan sebagai tempat mabit (bermalam) bagi jamaah haji, namun mulai tahun ini blok Mina Jadid tidak dipergunakan lagi. Semua jamaah haji ditempatkan di Mina Syar’i (Mina lama) yang luasnya masih sama dengan sebelumnya.
Dengan kondisi itu diperkirakan daya tampung Mina akan sangat padat dan sesak bahkan bisa jadi tidak mencukupi dengan jumlah jamaah yang bertambah. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan bagi keselamatan jiwa jamaah haji. Lebih-lebih jamaah haji yang memiliki resiko tinggi karena berbagai penyakit yang dimiliki serta jamaah lansia yang sangat rawan kesehatan dan lah fisiknya.
Dengan pertimbangan tersebut maka kebijakan tanazul menjadi salah satu pilihan yang bisa dilakukan oleh jamaah haji. Jamaah haji yang hotel penginapannya di sekitar Syisyah dan Raudhah karena dekat dengan Jamarat (tempat melempar Jumroh) bisa memilih tanazul, yaitu langsung kembali ke penginapan setelah melempar jumroh Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijjah dan tidak perlu kembali ke Mina. Di hotel mereka bisa istirahat yang cukup untuk mempersiapkan diri keesokan harinya kembali ke jamarat untuk melempar jumroh ula, wustho dan kubro di tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah atau di hari-hari Tasyriq.
Pada tanggal 11 Dzulhijjah ketika jamaah akan kembali melempar jumroh, maka jamaah yang mengambil tanazul harus kembali ke jamarat dan bisa datang di pertengahan malam untuk mabit sejenak dan dapat melempar jumroh setelah terbit fajar. Dengan demikian kewajiban untuk mabit di sebagian malam tetap terpenuhi. Begitu seterusnya pada tanggal 12 Dzulhijjah bagi yang mengambil Nafar awal dan sampai dengan 13 Dzulhijjah bagi yang mengambil Nafar Tsani. Intinya dengan tanazul jamaah tidak kembali lagi ke Mina tetapi di hotel masing namun pelaksanaan wajib haji yaitu mabit di Mina di sebagian malamnya (mu’jamul lail) dan melempar jumroh tetap bisa dijalankan.
Tanazul dinilai sebagai solusi fiqih terhadap persoalan jamaah yang memiliki resiko tinggi kesehatan dan lansia sekaligus juga solusi terhadap kepadatan di Mina yang sangat terbatas ruang dan fasilitasnya. Jika dipaksakan maka akan sangat membahayakan bagi jiwa jamaah haji. Mengedepankan salah satu Maqasidus Syariah yaitu melindungi jiwa manusia merupakan jalan keluar fiqih terhadap persoalan dharurat tersebut.
Secara Fiqih, pandangan ulama madzhab terhadap mabit di Mina juga berbeda-beda. Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa mabit di Mina adalah wajib. Jamaah haji yang tidak bermalam di Mina satu malam diharuskan membayar kafarat satu mud, jika dua malam maka harus membayar dua mud. Sementara Imam Hanafi dan Qaul Jadid Imam Syafi’i menyatakan hukumnya sunat. Jamaah haji yang tidak bermalam di Mina tidak dikenakan Dam.
Dengan demikian, jika pun ada jamaah yang tanazul dan tidak mabit kembali ke Mina pun tetap memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan pandangan imam madzhab yang berpendapat bahwa bermalam di Mina adalah sunat dan tidak wajib. Wallahu a’lam bishawab (MH.10/06/24).