Sejak berakhirnya bulan Mei, ada satu hal yang akan segera dirasakan oleh setiap warga Kota Metro setiap tahunnya, yakni semarak peringatan Hari Jadi Kota Metro yang diperingati setiap tanggal 9 Juni. Mulai dari hiburan rakyat Pasar Malam, Pameran Pembangunan, Pawai dan Karnaval Budaya, hingga berbagai even perlombaan. Semarak dan kemeriahan peringatan hari jadi daerah ini tentu juga dirasakan oleh warga Muhammadiyah yang ada di Kota Metro serta daerah sekitarnya. Bahkan, beberapa amal usaha Muhammadiyah turut serta berpartisipasi dalam kemeriahan tersebut. Sebagai even rutin tahunan, pada Hari Jadi Kota Metro ke-87 tahun 2024 ini, Kota Metro kembali memperingati hari jadinya, dan seperti biasanya lembaran catatan sejarah akan kembali dibuka sebagai bahan refleksi dan mengenang perjalanan panjang sejarah kota ini.
Kota Metro yang dalam catatan sejarahnya merupakan bentukan pemerintah kolonial Belanda, dahulu merupakan sebuah wilayah pusat kota pelaksanaan program pemindahan penduduk atau kolonisasi (sekarang disebut transmigrasi), yang bernama Kolonisasi Sukadana. Program Kolonisasi Sukadana merupakan salah satu dari sekian banyak program kolonisasi yang dijalankan pemerintah kolonial saat itu. Di Karesidenan Lampung, ada lebih dari 50 (lima puluh) lokus kolonisasi yang dibuka sejak tahun 1905. Kolonisasi Sukadana yang dibuka tahun 1935 dan berpusat di Metro menjadi lokus kolonisasi terbesar dan dianggap paling berhasil saat itu. Klaim-klaim keberhasilan dan kemajuan wilayah kolonisasi ini banyak tertulis dalam arsip-arsip pemerintah kolonial hingga warta surat kabar yang beredar di Hindia Belanda. Jajaran pemerintah pusat di Batavia mulai dari berbagai kepala departemen hingga Gubernur Jenderal sambang ke wilayah Kolonisasi Sukadana dan Metro kala itu. Bagi Metro, penanda waktu terpenting adalah Rabu, 9 Juni 1937 ketika wilayah Metro dinaikkan statusnya setingkat Asisten Kewedanaan atau Onderdistrik dan diiresmikan sebagai pusat atau ibukota dari wilayah Kolonisasi Sukadana yang total luasnya adalah ± 90.000 bouw (baca: bau, 1 bau=¾ ha). Tanggal penting itulah yang kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Jadi Metro.
Setidaknya itu adalah garis besar narasi sejarah lahir dan terbentuknya Metro yang begitu populer dan mainstream saat ini dikenal. Namun, dibalik narasi populer itu ada sejumlah fakta sejarah yang menunjukkan kehadiran dan peran Muhammadiyah ketika Metro lahir dan terbentuk pada masa- masa awal. Sejarah awal terbentuknya Metro dan Muhammadiyah di kota ini rupanya saling berkelindan. Ya, kehadiran Muhammadiyah di Kota Metro nyaris bersamaan dengan lahir dan terbentuknya kota ini. Di Metro, Muhammadiyah tidaklah hanya sekedar “menumpang” lahir untuk hidup dan berkembang, melainkan ikut tumbuh bersama bahkan turut merawat kotanya. Berkontribusi nyata untuk kemajuan peradaban, menjawab tantangan zaman. Meski secara struktur, rintisan perkumpulan Muhammadiyah di Metro baru dimulai tahun 1940, beberapa tahun sebelumnya kehadiran Muhammadiyah di Metro telah dapat dirasakan melalui kehadiran aktivitas para kadernya yang hingga waktu-waktu kemudian menjadi tokoh-tokoh penting Metro yang kala itu masih baru lahir dan dalam fase rintisan.
Sosok Asisten Wedana Metro yang Pertama
Pada Rabu 9 Juni 1937 selain menjadi tonggak bersejarah dibentuknya Asisten Kewedanaan Metro dan ditetapkannya Metro sebagai ibukota Kolonisasi Sukadana, hari itu juga menjadi hari yang bersejarah sebab diangkatnya seorang pejabat Asisten Wedana Metro yang pertama oleh Residen Lampung H. R. Rookmaaker. Ia adalah Raden Mas Sudarto, seorang priyayi terpelajar lulusan Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren atau MOSVIA, yakni sekolah khusus pendidikan Pangreh Praja yang berpusat di Magelang (kini menjadi IPDN). Surat kabar De Telegraaf yang terbit 7 April 1936 mencatat sebelum diangkat menjadi Asisten Wedana Metro, Raden Mas Sudarto merupakan Asisten Wedana di Gadingrejo (Pringsewoe), Kolonisasi Gedong Tataan, Onderafdeeling Telukbetung. Pengalamannya mengelola wilayah kolonisasi sebelumnya dipandang oleh pemerintah akan baik untuk kemajuan Metro.
Gambar: (Kiri) Raden Mas Sudarto, Asisten Wedana Metro yang pertama. (Kanan) Kutipan surat kabar De Telegraaf yang mewartakan R. Soedarto sebagai lulusan MOSVIA yang sebelumnya sebagai Asisten Wedana Gadingredjo kemudian dipindah-tugaskan sebagai Asisten Wedana Metro. Sumber: (Kiri) Buku “Metro: Desa Kolonis Menuju Metropolis”, (Kanan) Surat kabar De Telegraaf, terbit 7 April 1936.
Ketika tahun 1938 mulai muncul keinginan untuk membentuk perkumpulan Muhammadiyah di Metro, ia menjadi sosok penting yang memberi dukungan terbentuknya perkumpulan ini. Di tempat penugasan sebelumnya, perkumpulan Muhammadiyah cabang Telubetung telah berdiri sejak 1933. Oleh karena itu, di wilayah otoritasnya yang baru ia menjadi anggota adviseur terbentuknya perkumpulan ini. Lantas apa yang membuatnya begitu dekat dan bahkan menjadikan dirinya sebagai bagian dari Muhammadiyah? Ya, tak lain dan tak bukan sebab ia adalah lulusan MOSVIA Magelang, tempat dimana sang pendiri Muhammadiyah K. H. Ahmad Dahlan menjadi guru setiap hari Sabtu dan mengajar pelajaran agama Islam bagi para siswa calon Pangreh Praja Hindia Belanda. Spirit gerakan Muhammadiyah ia rasakan sendiri langsung dari sang pendiri Muhammadiyah ini.
Dokter Kolonisasi, Ketua Adviseur Muhammadiyah di Metro
Bagi warga Kota Metro belakangan ini mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama bangunan dokterswoning atau rumah dokter yang kini menjadi Rumah Informasi Sejarah (RIS) Kota Metro. Berdasarkan catatan sumber sejarah, rumah dokter ini dibangun sebagai rumah dinas dokter
kolonisasi di Metro yang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda diberi tugas memberi pelayanan kesehatan bagi para kolonis. Mas Soemarno Hadiwinoto adalah dokter kolonisasi itu, ia merupakan lulusan sekolah pendidikan dokter bumiputera NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) di Surabaya. Dokter kolonisasi ini sejak semasa mengenyam pendidikan telah aktif dalam pergerakan kebangsaan, sebagaimana pergerakan yang telah lama dipelopori oleh siswa-siswa dokter Jawa STOVIA melalui Budi Utomo. Tak hanya an sich berfokus pada kesehatan, kaum pergerakan menilai pendidikan menjadi kunci penting agar kaum bumiputera dapat hidup lebih baik termasuk lebih sehat sehingga dapat mengupayakan kemerdekaan. Soemarno merasakan betul bahwa spirit gerakan dakwah Muhammadiyah yang berpegang pada teologi Al Maun (pemikiran/pandangan berkenaan dengan pelayanan terhadap masyarakat yang didasarkan pada QS. al-Ma’un yang mencakup pada layanan sosial, kesehatan, dan pendidikan) sejalan dengan semangat pergerakan kebangsaan. Maka tak heran jika saat itu perkumpulan Muhammadiyah juga banyak digerakkan oleh anggota-anggotanya yang berlatar belakang kependidikan dan kesehatan.
Setelah tiba dan berdinas di Metro, Soemarno aktif bersama R. M. Sudarto (Asisten Wedana Metro) untuk mengupayakan berdirinya perkumpulan Muhammadiyah di tanah kolonisasi dan terus menjalin komunikasi dengan Muhammadiyah cabang Telukbetung yang telah berdiri sejak tahun 1933. Ketika usaha pendirian perkumpulan Muhammadiyah sebagai sebuah ranting di Metro tahun 1939-1940, Soemarno langsung membaur berperan sebagai adviseur serta menjadi bagian dari Komite Pendirian Sekolah Muhammadiyah di Metro. Peran penting Soemarno ini dicatat dan diwartakan oleh terbitan Majalah Pandji Islam tahun 1940.
Gambar: Kutipan Majalah Pandji Islam yang menjelaskan perkembangan Muhammadiyah di Metro, beberapa usahanya, serta tokoh-tokoh pentingnya termasuk dr. Soemarno Hadiwinoto. Sumber: Majalah Pandji Islam Nomor 45 terbit 11 November 1940, Arsip Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, tokoh Muhammadiyah di Metro ini kembali memainkan peran penting sebagai Ketua Cabang Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Lampung untuk Metro. KNID adalah semacam lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk pada 11 September 1945 untuk menjalankan fungsi DPRD sampai menunggu pemilihan umum yang menurut rencana akan diselenggarakan tahun 1946. Peran penting lain yang tak kalah heroiknya adalah tatkala ia memutuskan untuk berjuang turun gunung bersama TNI bergerilya saat Agresi Militer Belanda II berlangsung di Keresidenan Lampung tahun 1949.
Mantri Kesehatan, Ketua Ranting Muhammadiyah Metro yang Pertama
Kesehatan para kolonis menjadi masalah yang sangat serius dan mendapatkan perhatian utama dari pemerintah kolonial. Belajar dari pengalaman tiga dekade sebelumnya di Kolonisasi Gedong Tataan, angka kematian kolonis akibat malaria begitu tinggi tak dapat diatasi, belum lagi akibat disentri, kolera dan masalah kesehatan lainnya akibat kualitas kebersihan lingkungan tempat tinggal masih sangat buruk dan seadanya. Pada fase kedua pelaksanaan kolonisasi (1932-1941), termasuk Kolonisasi Sukadana, pemerintah menyiapkan jumlah tenaga kesehatan lebih memadai agar dapat memberikan pelayanan kesehatan termasuk edukasi hidup sehat bagi para kolonis. Sampai dengan tahun 1941, di Metro sudah terdapat 2 orang dokter, 13 mantri jururawat, 1 mantri malaria, 80 pembagi kina, 2 pembantu klinik, dan 1 bidan. Kamidjo Sosrosudarmo adalah salah seorang dari mantri kesehatan jururawat itu. Ia adalah seorang terpelajar dari Jawa yang diberi tugas oleh pemerintah sebagai mantri kesehatan di Rumah Sakit Missi juga poliklinik milik pemerintah di Metro.
Gambar: (Kiri) Salah satu nama jalan di pusat Kota Metro yang mengabadikan nama Ketua Ranting Muhammadiyah Metro yang pertama, Sosrosudarmo. (Kanan) Kutipan arsip Mailrapport 1940 Politieke Verslagen Lampongsche Districten (dokumen intelejen) yang memuat daftar nama pengurus Perkumpulan Muhammadiyah di Metro, Onderafdeeling Sukadana. Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), MVO 4E reel 15.
Hasil kongres Muhammadiyah tahun 1937 salah satunya adalah Muhammadiyah akan mulai memberikan perhatian di tanah-tanah kolonisasi, terutama Lampung. Usaha itu dilakukan mulai tahun 1938-39 dan untuk hal tersebut diserahkan kepada Muhammadiyah Cabang Solo di bawah pimpinan Amir Thoha. Di Metro, sejak tahun 1938, Sosrosudarmo menjadi salah seorang yang turut menginginkan dibentuknya perkumpulan Muhammadiyah bersama tokoh intelektual kolonis lainnya, salah satunya Asisten Wedana Metro, R. M. Soedarto. Tahun 1939 utusan Muhammadiyah Cabang Solo tiba yang terdiri dari 4 (empat) orang, yaitu Amir Thoha, Ali Sjoehoedi, Raden Djojo Teranggono, dan Den Podjo. Utusan kedua tiba pada tahun 1940 terdiri dari 2 (dua) orang ialah
Raden Darmotjahjono dan Raden Siswowijoto. Pada tahun 1940 juga, dr. Soemarno tiba dan mulai berdinas di Metro. Pada tahun 1940 itulah perkumpulan Muhammadiyah (ranting) di Metro terbentuk yang dibidani oleh para utusan Muhammadiyah Cabang Solo. Kamidjo Sosrosudarmo disepakati menjadi Ketua Ranting Muhammadiyah Metro yang membawahi tiga wilayah kolonisasi yakni Trimurjo, Metro, dan Gedongdalam.
Di kemudian hari, Sosrosudarmo turut mengambil peran penting saat Agresi Militer Belanda II di Metro berlangsung, sama seperti dr. Soemarno, meski ia adalah bekas pegawai pemerintah kolonial, sikapnya jelas dan tegas bahwa kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pilihan yang tak tertawar. Ia banyak membantu para pejuang saat situasi perang dengan kemampuan medis yang ia miliki. Tak heran keberpihakannya kepada Indonesia membuatnya menjadi salah satu yang tercatat dalam daftar nama pencarian oleh pihak Belanda. Ketua Ranting Muhammadiyah Metro itu akhirnya gugur dieksekusi (tembak mati) secara terbuka pada Maret 1949 oleh serdadu Belanda di Lapangan 22 Hadimulyo, hal ini terjadi setelah keberadaannya dibocorkan oleh mata-mata pihak Belanda.
HIS Muhammadiyah Metro; Memperluas Akses Pendidikan Bumiputera untuk Akselerasi Kemajuan Program kolonisasi sebagai bagian dari Politik Etis dijalankan beriringan dengan program edukasi atau pendirian sekolah-sekolah untuk rakyat pribumi. Namun dalam prakteknya, akses pendidikan yang utuh dan komprehensif masih sangat diskriminatif dan elitis. Hanya kalangan priyayi saja yang mampu mendapatkan akses pendidikan hingga jenjang teratas, sisanya sebagian besar pendidikan yang diberikan pemerintah hanya bersifat sangat dasar dan gradual. Itu pun tak bisa dikatakan terakses sepenuhnya. Di Kolonisasi Sukadana termasuk Metro sejak dibuka 1935, beberapa Sekolah Rakyat (SR) didirikan dalam bentuk Tweede Inlandsche School atau populer disebut Sekolah Kelas Dua atau Sekolah Ongko Loro yang ditempuh selama 3 (tiga) tahun dengan kurikulum dasar membaca, menulis, dan berhitung. Di Metro, Sekolah Ongko Loro didirikan oleh pihak pemerintah dan juga pihak Missi.
Sayangnya, selain aksesnya yang masih terbatas hanya untuk kalangan atas (kecuali sekolah pihak Missi yang lebih terbuka), lulusannya jika ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya harus keluar dari Metro (Tanjungkarang), sebab hingga tahun 1941 pemerintah belum mendirikan jenjang pendidikan lanjutan di Metro. Meskipun pihak Missi telah mendirikan Vervolgschool atau Schakelschools (Sekolah Sambung, ditempuh selama 5 (lima) tahun dan lulusannya disetarakan lulusan HIS) di Tanjungkarang dan Pringsewu yang memberikan akses lebih luas kepada bumiputera, namun hanya lulusan terbaik dari Sekolah Rakyat Kelas Dua (Tweede Inlandsche School) yang dapat menempuhnya.
Membaca situasi dan menjawab kebutuhan masyarakat akan akses pendidikan yang lebih terbuka dan akseleratif, maka membersamai terbentuknya perkumpulan Muhammadiyah di Metro tahun 1940 didirikan juga amal usahanya dalam bidang pendidikan yaitu Sekolah Rakyat dalam bentuk Hollandsch Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah. Sekolah ini ditempuh dalam waktu 7 (tujuh) tahun. Sehingga lulusannya dapat langsung melanjutkan ke jenjang berikutnya yang lebih tinggi seperti MULO (setingkat SMP), berbeda dengan lulusan Sekolah Kelas Dua yang terlebih dahulu harus menempuh Sekolah Sambung agar dapat melanjutkan ke MULO. Jika HIS dibandingkan dengan Sekolah Kelas Dua, maka jam belajarnya lebih lama juga waktu tempuhnya, substansi pelajaran yang dipelajari lebih luas dan sama dengan Sekolah Dasar untuk bangsa Eropa, bahasa pengantar yang digunakan menggunakan standar bahasa Belanda, serta standar guru yang mengajar memiliki kemampuan lebih baik.
Gambar: (Kiri) HIS Muhammadiyah di Metro yang didirikan tahun 1940. (Kanan) Suasana Kelas Sekolah HIS Muhammadiyah di Metro tahun 1940. Sumber: Koleksi Digital Universiteit Leiden, KITLV nomor arsip: 53754 dan 53755
Kehadiran HIS Muhammadiyah di Metro tentu bertujuan agar dapat memberikan kesempatan pendidikan yang lebih luas untuk anak-anak kolonis serta lebih akseleratif, sebab lulusannya tak perlu lagi menempuh Sekolah Sambung (Vervolgschool) yang hanya ada di Luar Metro agar dapat disetarakan dengan HIS. Untuk diketahui, bahwa saat itu mendirikan sekolah tidaklah mudah, terlebih perijinan membuka Sekolah Kelas Satu (Eerste Inlandsche School) seperti HIS dimana standar dan kriteria sekolah ini lebih sulit ketimbang Sekolah Rakyat Kelas Dua, terutama dari tenaga pengajarnya serta kurikulumnya yang tak berbeda dengan ELS (Europese Lagere School atau Sekolah Dasar khusus untuk bangsa Eropa). Dan disaat itu Muhammadiyah telah memiliki modal sosial cukup kuat dengan sebagian besar anggotanya adalah kalangan terdidik, terutama dari Jawa. Sehingga Muhammadiyah merasa tak perlu ikut-ikutan membuka sekolah-sekolah rakyat seperti yang telah ada, tetapi mendirikan sekolah yang nantinya dapat berdampak lebih besar. Hal ini menjadi usaha percepatan Muhammadiyah untuk melahirkan kelompok masyarakat terdidik agar dapat membawa kemajuan di tanah kolonisasi sesegera mungkin.
Koperasi “Roekoen Tani”, Upaya Muhammadiyah Memperbaiki Kehidupan Ekonomi Kolonis Kemashyuran akan kemajuan Kolonisasi Sukadana yang membanggakan para pembesar Hindia Belanda di Batavia nyatanya berada dalam angka-angka statistik laporan semata yang menyenangkan hati penyelenggaranya. Gambaran tumpukan berton-ton gabah padi hasil panen memang nyata adanya, tapi tak dirasakan kemakmurannya oleh para kolonis. Hasil-hasil panen melimpah toh tetap berada dalam kendali penuh pemerintah yang menjadikan tanah-tanah kolonisasi sebagai wilayah penghasil beras untuk mencukupi kebutuhan pemerintah Hindia Belanda. Para kolonis tetap saja menjalani hidup mereka penuh dengan kesulitan, seperti hasil panen padi yang dipotong (sebagian wajib diserahkan), kewajiban kerja 75 hari per tahun untuk penggalian jaringan irigasi, ditambah tanggungan hutang-hutang mereka kepada pemerintah. Hutang? Ya hutang! Dalam Sistem Kolonisasi Bawon, kolonis yang baru tiba memang akan dititipkan (ngenger)
kepada kolonis sebelumnya untuk bekerja membawon atau menjadi buruh petik padi saat memasuki musim panen, mereka akan mendapatkan upah natura ⅕ – ⅒ dari hasil panen. Upah itu digunakan sebagai bahan makanan mereka nantinya setelah mendapat jatah tanah pekarangan untuk tinggal dan lahan untuk dijadikan sawah. Saat pembagian jatah tanah, para kolonis juga akan mendapatkan berbagai perlengkapan dan peralatan untuk memulai kehidupannya, seperti cangkul, linggis, paku, parang, atap rumah (welit), periuk, pengki, dan seterusnya yang kesemuanya tidaklah diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibayar oleh kolonis kepada pemerintah selama dua hingga tiga tahun secara diangsur. Prinsip niets voor niets (tidak pernah ada yang cuma-cuma) secara ketat dijalankan. Tak heran megaproyek ini diklaim berjalan sukses dengan efisien dan berbiaya rendah oleh pemerintah.
Gambar: (Kiri) Kolonis di bedeng 15 yang dipotret di depan rumahnya bersama hasil panennya untuk kepentingan propaganda pemerintah kolonial. (Kanan) para kolonis yang sedang kerja wajib penggalian irigasi. Sumber: (Kiri) Tropenmuseum, Amsterdam nomor arsip TM ALB 2114 48 (Kanan) Koleksi Digital Universiteit Leiden, KITLV nomor arsip 53763
Situasi sulit dimana kolonis gagal panen karena serangan hama dan lain hal, sedangkan persediaan padi hasil upah bawon terdahulu untuk kebutuhan makan telah habis, belum lagi anggota keluarga yang sakit, upah kerja wajib irigasi yang hanya dibayar dengan 2 potong ikan asin (namun dalam laporan tercatat pekerja diupah sebesar ƒ 2.5, baca: florin/gulden), dan masih banyak kondisi sulit lainnya. Sedangkan di satu sisi kewajiban membayar pinjaman tak dapat dielakkan oleh para kolonis. Belum lagi para tengkulak dengan sistem ijon-nya yang kerap mengakali para kolonis dengan membeli padi kolonis jauh sebelum masa panen dengan iming-iming pembayaran tunai di depan mata saat itu juga. Maka tak sedikit kolonis yang semakin jatuh dalam kemelaratan, bahkan terjerat dalam praktek riba untuk membayar hutang kepada pemerintah, dimana saat itu banyak para rentenir yang menarik bunga pinjaman sangat tinggi. Maka tak sedikit ditemukan dalam arsip pemerintah laporan-laporan kepala desa kepada pemerintah mengenai kolonis yang melarikan diri kembali ke Jawa dengan meninggalkan tanggungan hutang yang besar baik kepada pemerintah maupun kepada pihak-pihak partikulir.
Melihat situasi dan membaca persoalan itu, Muhammadiyah pada pertengahan Mei 1940 mendirikan amal usaha berupa koperasi bagi kolonis bernama Roekoen Tani yang saat itu diketuai oleh Moehadjir dan berpusat di Banjarsari (bedeng 29). Moehadjir dibantu oleh para kepala desa agar dapat lebih mudah memobilisasi para kolonis menjadi anggota koperasi. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk meningkatkan kehidupan ekonomi para kolonis agar tidak makin
terpuruk serta terhindar dari praktek-praktek yang merugikan kolonis sebagai petani, seperti meminjam kepada rentenir atau menjual padinya dengan sistem Ijon. Perkembangan koperasi kolonis Roekoen Tani yang didirikan oleh Muhammadiyah ini mendapat sambutan positif dan mengalami perkembangan yang baik, di bulan November 1940 koperasi itu bahkan telah memiliki kendaraan operasionalnya sendiri berupa motor yang diberi label nama koperasi itu.
Secara de jure dan de facto Metro memang dibentuk dan lahir atas prakarsa pemerintah kolonial Belanda yang memiliki proyeksi akan sebuah kota besar (metropolitan) di tanah kolonisasi ini. Tetapi setelah kelahirannya, juga merupakan suatu fakta sejarah yang tak terbantahkan bahwa “bayi” Metro yang baru lahir itu kemudian dirawat oleh Muhammadiyah melalui representasi kehadiran kader- kadernya yang aktif mengambil peran sentral dan penting dalam menata dan mengurusi Metro di masa-masa awal. Tak hanya itu, Muhammadiyah pun hadir melalui berbagai amal usahanya yang berusaha menjawab tantangan zaman serta berupaya menyelesaikan persoalan keummatan dan kebangsaan.
Mengutip ungkapan tokoh Muhammadiyah Din Syamsudin bahwa “Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa, bukan menjadi bagian dari masalah atau a part of the problem” (Selasa, 4 Juni 2024), jelas ungkapan tersebut bukan hanya sekedar pernyataan normatif belaka, catatan perjalanan sejarah Muhammadiyah di Metro pada fase awal, dapat menjadi bukti kongkrit sebagai penguat apa yang telah diungkapkan itu. Bermulanya garis sejarah Metro dan Muhammadiyah di kota ini memang berkelindan dan tak dapat dipisahkan. Momentum hari jadi Kota Metro juga dapat menjadi momentum bagi Muhammadiyah di kota ini untuk berefleksi, sudah sampai sejauh mana kaki dilangkahkan, sejauhmana sejarah dituliskan, masalah keummatan apa yang perlu lekas diselesaikan, dan tantangan zaman apa yang musti dicari jawabannya ke depan.
Selamat Hari Jadi Kota Metro ke-87 Tahun “Metro Maju dan Gemerlang”
Penulis:
Kian Amboro
====
Daftar Sumber dan Rujukan ( jika diperlukan)
Amboro, K. (2021a). Jejak Kolonisasi Sukadana 1935-1942. AURA Publisher.
Amboro, K. (2021b). Menengok Dokterswoning, Bangunan Bergaya Kolonial di Metro. In A. Arman (Ed.),
Menyebar Semangat Sejarah Lokal; Sehimpun Tulisan dari Lampung (pp. 1–13). AURA Publisher.
Amboro, K. (2021c, April 1). De Lampongsche Volkscredietbank. Petitum.Id. https://www.petitum.id/2021/04/01/de-lampongsche-volkscredietbank/
Amboro, K. (2022). Menghimpun Yang Terserak Merajut Benang Ingatan; Menjejak Tapak Kolonisasi Sukadana. In UPTD Museum Ketransmigrasian Lampung (Ed.), Seminar Permuseuman Jejak Kolonisasi di Lampung (pp. 1–40). Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung.
Amboro, K., & Bambang, S. (2020). Sekilas Sejarah Rumah Dokter Metro. In Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Metro (Ed.), Dokterswoning: Sejarah Rumah Dokter Kota Metro (pp. 20–28). AURA Publisher.
Amboro, K., Hartati, U., & Kuswono. (2018). Sejarah Perkembangan Persyarikatan Muhammadiyah di Metro
(Kuswono, Ed.). Universitas Muhammadiyah Metro.
De Indische courant. (1940, February 23). Onderwijs: Mohammadijah-School In de kolonisatie. De Indische Courant.
De Koerier. (1936, November 20). De Kolonisatie in de Lampongs: Inspectiereis van den Directeur B.B. De Koerier, 5.
De Koerier. (1940, February 22). Nederl.-Indie: Mohamadijah-School in de Kolonisatie. De Koerier.
De Resident der Lampongsche Districten. (1936). Kolonisatie-Verslag van de Lampongsche Districten, Over Het 4e Kwartaal 1936.
De Telegraaf. (1936, April 7). De Javanen-kolonisatie in de Lampongs. De Telegraaf, 9. Deli courant. (1939, April). Kolonisatie-Dokter in de Lampongs. Deli Courant, 3e.
Hadjat, A. R. (1940, November 11). Tanah Kolonisasi dan Keagamaan Penduduknya. Pandji Islam, 872–873.
Hendrikx, P. (2014). Het beloofde land aan de overkant: Grootschalige overheidsgestuurde emigratie en kolonisatie van Java naar Lampong 1932-1941 [Scriptie]. Universiteit Utrecht.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië. (1940, February 23). Onderwijs: School in Kolonisatie. Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië.
Kuswono, Hartati, U., Amboro, K., Mujiyati, N., Immawati, F. L., Tantri, A. D., & Wijaya, A. R. (2020). Metro Tempo Dulu: Sejarah Kota Metro Era Kolonisasi 1935-1942 (B. Hidayat & U. Hartati, Eds.; 1st ed.). LADUNY.
Oosterwijk, H. E. J. (1939). Politiek verslag Lampongsche Districten, November 1939.
Pelzer, K. J. (1948). Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics: Studies in Land Utilization and Agricultural Colonization in Southeastern Asia. American Geographical Society.
Rookmaker, H. R. (1935a). Soekadana-kolonisatie (Trimoerdjo): Kolonisatie Verslag over het 1ste kwartaal, 1935. Rookmaker, H. R. (1935b). Soekadana-kolonisatie (Trimoerdjo): Kolonisatie Verslag over het vierde kwartaal,
1935.
Rookmaker, H. R. (1937). Memorie van Overgave: Richtlijnen voor kolonisatie met Javanen.
Sekretariat Daerah Kota Metro. (2004). METRO: Desa Kolonis Menuju Metropolis (Metro Membangun – Membangun Metro) (Sudarmono & E. R. Harwanto, Eds.; 1st ed.). Bagian Humas dan Protokol Setda Kota Metro.
Sjamsu, M. A. (1960). Dari Kolonisasi ke Transmigrasi 1905-1955. Djambatan.