Mukhtar Hadi
Wakil Ketua PDM Kota Metro
Pagi setelah subuh terdengar suara riuh dengan pengeras suara kecil. Suara itu berasal dari pelataran bawah maktab jamaah haji Indonesia. Diucapkan oleh pedagang kaki lima musiman di Arab Saudi: “ Haji- haji Dua Riyal, Dua Riyal, Jokowi Delapan ribu, kalau tidak bayar ‘elek”. Bahasa Indonesia campuran dengan logat Arab yang menggelikan. Namun itu cukup mengundang jamaah haji turun dari peraduannya.
Di depan maktab jamaah haji, sudah berjejer para penjual makanan kecil seperti gorengan, nasi goreng, uduk, bubur kacang hijau, bubur Candil, bakso, bakwan, tahu bunting, klepon, dan tidak lupa minuman hangatnya teh dan kopi sachet. Di sebelah lainnya berjejer penjual baju kurung muslimah, Koko, peci, sajadah, tasbih, jam tangan, tas-tas, celak, pewarna kuku, dan macam-macam lainnya. Barang jualan mereka dijejer begitu saja di halaman parkir maktab dengan selembar kain atau dengan gantungan yang bisa fleksibel dipindah sana sini.
Harga untuk sepotong gorengan, nasi goreng dengan bungkus plastik mika, klepon dan secangkir kopi atau teh rata- raya dua Riyal Arab Saudi. Kalau dikurskan kurang lebih delapan ribu rupiah. Sementara harga baju, tas dan pernak pernik lainnya sesuai dengan penawaran. Ada yang lima, sepuluh, dua puluh atau 50 Riyal, Bisa ditawar sesuai dengan kesepakatan. Pembayaran bisa dengan mata uang Riyal atau Rupiah.
Para pedagang itu berasal dari Indonesia, ada yang dari Ambon, Makasar, Madura dan Jawa. Yang lainnya dari Pakistan, Bangladesh dan orang asli Arab sendiri. Sebagian besar mereka bisa berbahasa Indonesia dan yang bukan asal Indonesia secara terbatas bisa bahasa Indonesia dengan logat yang lucu tadi. Entah status mereka resmi tinggal atau tidak di Arab Saudi. Statusnya legal atau ilegal, tidak tahu. Belum sempat tanya, atau mungkin kalau ditanya belum tentu mau jawab.
Konon katanya para pedagang kaki lima ini termasuk pendatang yang legal hanya tidak memiliki izin berdagang atau berjualan. Karena itu sering kucing-kucingan dengan polisi Arab Saudi. Sewaktu-waktu mereka bisa kena razia. Jika sudah begitu barang dagangannya ditinggal begitu saja atau kalau sempat digulung dibawa lari. Nanti kalau polisi sudah pergi dagangannya digelar lagi. Mirip pedagang kaki lima di Indonesia, nasibnya harus menjadi ‘kucing’ supaya bisa kucing-kucingan.
Pagi itu, di tengah asik tawar-menawar dagangan. Sebagian malah sudah terjadi kesepakatan harga, namun belum sempat dibayar. Tiba-tiba datang polisi dengan kendaraan bersirine turun dan menangkap pedagang yang bisa ditangkap sambil mengobrak abrik dagangan. Kedatangan polisi itu benar tiba-tiba, tidak diduga sebelumnya.
Serta merta semua pedagang kecil itu dengan cepat dan sigap menggulung kain dagangannya. Dagangan itu digendong, dipikul atau diseret sebisanya dibawa pergi menghindar dari polisi. Banyak yang kemudian dagangannya tercecer tidak sempat dibawa. Termasuk yang sudah dipegang pembeli namun belum sempat dibayar ditinggalkan begitu saja. Membiarkan pembeli sendirian, bingung mau bayar dengan siapa.
Pedagang yang ketangkap itu dibawa polisi. Mungkin dia sedang apes saja, yang lainnya tidak ditangkap karena sempat lari duluan. Bagi polisi, pedagang yang ditangkap itu mungkin untuk memberikan pesan peringatan kepada yang lain supaya ada efek jera. Tidak tahu, efektif atau tidak razia itu memberi efek jera, nyatanya besok pagi setelah subuh para pedagang itu menggelar dagangannya lagi.
Esok paginya ba’da subuh suara itu terdengar lagi: “ Haji-haji, dua Riyal, dua Riyal, Jokowi Delapan ribu” dengan logat yang belum berubah. Maksud dua Riyal dan Jokowi Delapan ribu itu, adalah harga dua riyal itu kalau dihitung dengan rupiah senilai dengan delapan ribu rupiah. Mohon maaf pak Jokowi, nama Bapak dijadikan pengganti representasi uang rupiah oleh para pedagang kaki lima di Arab Saudi. (MH. 30/05/2024).