Warga persyarikatan, lebih-lebih pimpinan Muhammadiyah, tentu mengenal khittah dua belas tafsir langkah Muhammadiyah. Salah satu isi dari dua belas tafsir langkah Muhammadiyah adalah memperluas faham agama. Pesannya, bahwa beragama itu harus dengan pemahaman yang dalam dan luas. Tidak boleh memahami agama itu secara sempit, parsial atau sepotong-sepotong, karena pemahaman seperti itu akan membuat beragama menjadi terasa sempit, dangkal, dan rigid. Ujungnya mengklaim bahwa pandangannya yang paling benar, paling shahih, dan mengkapling surga sebagai miliknya sendiri.
Bagaimana cara supaya bisa memahami Islam secara luas? Jawabannya: belajar dan banyak membaca khazanah keilmuan Islam. Warga Muhammadiyah harus rajin membaca dan rajin belajar. Membaca kitab Fikih, Ushul Fikih, Ulumul Hadits, Ulumul Qur’an, Sejarah Islam, Kitab Hadits dan Tafsir Al-Qur’an, Perbandingan Mazhab, Tasawuf, dan tentu saja buku-buku yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Lalu apalagi, kembangkan tradisi keilmuan dan pemikiran di lingkungan Muhammadiyah. Ini hal mendasar yang harus dilakukan untuk memperluas faham agama.
Sebagai organisasi modern dan dikenal sebagai pembaharu (tajdid), tradisi keilmuan tersebut sesungguhnya sudah dilakukan oleh para pendiri Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah adalah orang yang mendobrak kejumudan berfikir dikalangan umat Islam. Tokoh-tokoh Muhammadiyah dikenal sebagai para pemikir dengan pemahaman keagamaan yang kuat. Karena itu jika ada warga dan pimpinan Muhammadiyah mengabaikan kebiasaan membaca berarti lupa dengan semangat tajdid dan tradisi keilmuan yang menjadi ruh bagi gerakan persyarikatan.
Keluasan pandangan dan pemikiran akan menghasilkan sikap yang bijaksana dalam menyelesaikan segala persoalan. Kedalaman pengetahuan dan wawasan akan melahirkan sikap fleksibilitas dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi. Dengan kata lain keluasan pandangan dalam agama dan ilmu pengetahuan akan menghasilkan keluwesan dalam bersikap dan bertindak.
Sikap keluwesan dalam mengelola persyarikatan menjadi sangat penting. Organisasi kemasyarakatan Islam yang menuntut sikap voluntarisme, kesukarelaan dan keikhlasan pada setiap anggotanya membutuhkan fleksibilitas dan keluwesan dalam pengelolaannya. Bukan berarti aturan organisasi diabaikan atau tidak diimplementasikan dengan baik. Namun aturan-aturan persyarikatan itu dalam pelaksanaannya membutuhkan sikap-sikap yang bijak dari para pengurus dan pemimpinnya. Para pimpinan persyarikatan adalah kunci gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, oleh karena itu para pimpinan harus memiliki keluasan dan keluwesan.