Judul tulisan ini diambil dari pepatah Minang: Duduak Surang basampik-sampik, Duduak Basamo balapang-balapang. Petatah-petitih orang Minang ini memilki makna yang sangat dalam. Artinya, segala sesuatu jika dilakukan secara sendiri akan sulit sekali, tetapi jika dilakukan secara bersama-sama akan mudah diwujudkan. Pesan yang bersumber dari Kearifan lokal inilah yang mengilhami semangat gotong royong dan kebersamaan masyarakat Indonesia.
Semestinya jika seseorang duduk sendiri keadaannya menjadi lapang atau longgar. Sementara kalau duduk bersama-sama dengan banyak orang kondisinya menjadi sempit. Itu logika sederhananya. Namun namanya pepatah, menggunakan bahasa kiasan, memahaminya tidak boleh secara harfiah, tetapi didasarkan pada pesan tersiratnya. Sekali lagi, peribahasa yang menjadi judul tulisan ini maknanya adalah bahwa segala sesuatu jika dilakukan secara bersama-sama dengan gotong royong segala tujuan akan mudah dicapai.
Bukan sesuatu yang kebetulan, jika dalam ajaran Islam, segala sesuatu yang dilakukan bersama mendapatkan nilai dan keutamaan yang tinggi. Islam memandang kebersamaan dalam hal tertentu jauh lebih penting dibandingkan dengan sendiri-sendiri. Contohnya, shalat Fardu. Shalat fardu yang dilakukan secara berjamaah akan diberikan pahala 27 kali lipat oleh Allah dibandingkan dengan shalat sendirian.
Anjuran Syuro atau musyawarah untuk mendiskusikan persoalan dan mencari solusi bersama-sama merupakan salah satu ajaran untuk menyelesaikan segala urusan yang dihadapi manusia . Pada masa modern ini, syuro kemudian menjadi salah satu prinsip dasar dalam mengatur pemerintahan dan landasan demokrasi.
Pentingnya kebersamaan yang dipererat dengan semangat persatuan juga diajarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an. Misalnya sebagaimana yang tercantum dalam surat Ash- Shaff ayat 4: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang (berjihad) di jalan-Nya dengan berbaris-baris laksana bangunan yang berdiri kokoh” . Lazimnya sebuah bangunan yang kokoh itu adalah percampuran antara beberapa elemen seperti pasir, batu, semen, bata, air, dan sebagainya. Kalau masing-masing material itu sendiri-sendiri, ia tidak akan berarti apa-apa, apalagi akan menjadi sebuah bangunan yang kokoh. Tidak akan pernah terjadi.
Demikianlah makna kebersamaan itu. Semua yang dilakukan secara gotong royong dan bersama-sama akan mudah terwujud. Sebaliknya, segala sesuatu dilakukan sendirian atau sendiri-sendiri akan sulit terwujud atau menemui kegagalan.
Tentu saja, kebersamaan itu harus dilandasi dengan niat baik, keikhlasan dan persatuan. Tanpa landasan itu kebersamaan justru akan menimbulkan rasa frustasi dan kekacauan. Tanpa hal itu, kebersamaan akan menimbulkan gontok-gontokan dan berakhir pada perpecahan.
Di dalam kebersamaan itu, maka dibutuhkan pemimpin dan kepemimpinan. Seperti halnya shalat jamaah, ada imam dan ada makmum. Setiap imam yang dipercaya untuk memimpin shalat adalah orang terbaik yang segala tindak-tanduknya akan diikuti makmum. Imam harus tetap berada dalam koridor aturan dan syarat rukun shalat. Keluar dari itu ia akan menjadi imam yang dibenci. Demikian pula makmum, dia harus mengikuti segala hal yang dilakukan imam, tidak boleh mendahului gerakan imam. Mengingatkan dengan cara yang baik jika imam lalai atau melakukan kesalahan. Begitulah kebersamaan yang dicontohkan dalam shalat jamaah.
Dalam hal membangun kebersamaan, seorang pemimpin ibarat dirigen atau seorang komposer musik. Jika seorang komposer musik tidak bisa meramu alat musik yang bermacam-macam itu dengan baik, maka bunyi sumbanglah yang akan dihasilkan. Alat musik yang bermacam-macam dan berbeda yang disatukan justru menghasilkan bunyi yang menyakitkan telinga. Namun kalau sang komposer bisa meramu alat musik yang berbeda itu dengan baik, maka akan melahirkan bunyi yang merdu, syahdu mendayu-dayu, menggugah hati dan perasaan, serta membuat nyaman telinga yang mendengar. Wallahu a’lam bishawab (mh.04.01.24)